Perencanaan Setengah Resmi dalam Perencanaan Pembangunan Daerah

Dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, dokumen perencanaan disusun berdimensi jangka panjang (Rencana Pembangunan Jangka Panjang/RPJP), jangka menengah (Rencana Pembangunan Jangka Menengah/RPJM dan Rencana Strategis/Renstra) serta berdimensi tahunan (Rencana Kerja Pemerintah/RKP dan Rencana Kerja/Renja). RKP/D kemudian dibahas bersama legislatif menjadi Anggaran Pendapatan Belanja Nasional/Daerah (APBN/D). Dokumen-dokumen perencanaan ini bersifat indikatif (RPJP dan RPJM) serta bersifat operasional (APBN/D). Sehingga dokumen perencanaan yang akan diimplementasikan dalam pelaksanaan pembangunan adalah APBN/D.

Pada praktiknya, di samping dokumen perencanaan yang ada, dikenal juga dokumen-dokumen perencanaan “setengah resmi.” Disebut “setengah resmi” karena dokumen-dokumen tersebut tidak termasuk dalam dokumen perencanaan berdimensi jangka panjang, menegah maupun tahunan. Dokumen-dokumen perencanaan “setengah resmi” ini juga lebih banyak bersifat advokatif dan afirmatif.

Dokumen perencanaan “setengah resmi” ini dapat disebut rupa-rupa Rencana Aksi (action plan) termasuk Standar Pelayanan Minimal (SPM). Rencana aksi-rencana aksi yang ada biasanya disusun secara sektoral, sebut saja Rencana Aksi terkait Suistainable Development Goals (SDGs), atau Rencana Aksi Pendidikan Untuk Semua (PUS). Meskipun dokumen perencanaan ini disusun oleh pemerintah, berdasarkan peraturan perundangan setingkat Inpres, maupun Permen namun kedudukannya “setengah resmi” dalam Sistem Perencanaan Pembangunan. Karena dokumen-dokumen yang ada agar bersifat operasional harus terintegrasi dengan APBN/D yang di dalamnya secara terperinci mengatur program, kegiatan, nominal anggaran hingga rincian belanja.

Begitu juga dengan SPM. SPM meskipun hanya mengatur target kinerja pelayanan minimal urusan pembangunan, sesungguhnya memiliki implementasi perencanaan. Karena target kinerja merupakan “dasar” atau “ruh” dari perencanaan agar lebih bersifat operasional. Seperti halnya rencana-rencana aksi yang ada, SPM yang telah ditetapkan juga dapat dikelompokkan sebagai perencanaan “setengah resmi.”

 

Menjadi Beban

Keberadaan perencanaan-perencanaan “setengah resmi” ini pada saat-saat tertentu menjadi beban bagi perencanaan pembangunan daerah. Pembahasan terhadap pernyataan bisa dilakukan sejak penetapan indikator kinerja, yang antara lain diamanatkan oleh SPM. Dokumen perencanaan jangka menengah telah diatur memuat target kinerja. Sebagian target kinerja ditetapkan memperhitungkan SPM yang telah lebih dulu ditetapkan pemerintah (pusat). Skema perencanaan indikatif dalam perencanaan jangka menengah memuat program pembangunan, indikator dan target kinerja serta anggaran yang dialokasikan untuk program tersebut.

Skema ini dapat dimaknai dengan alur berpikir seperti ini. Anggaran yang ada, dialokasikan untuk mencapai target kinerja yang telah ditetapkan. Pelaksanaan pembangunan untuk mencapai target kinerja tersebut adalah kegiatan. Dengan skema seperti ini maka antara program, target kinerja, anggaran, dan kegiatan sebagai perencanaan operasional saling berkaitan. Kondisi ideal ini pada praktiknya menghadapi sejumlah kendala dalam implementasi.

Problem dalam penyusunan perencanaan dapat diuraikan melalui ilustrasi seperti ini. Penyusunan dokumen perencanaan jangka menengah mendasari Permendagri 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. Program dalam RPJMD diamanatkan untuk dilengkapi dengan indikator dan target kinerja. Permendagri Nomor 54 Tahun 2010 tidak secara spesifik memandu indikator-indikator yang tepat atau pas pada setiap program. Sementara program dalam RPJMD mendasari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Pada saat disusun, Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 juga tidak memperhitungkan indikator apa yang tepat untuk nomenklatur masing-masing program yang ada.

Pada kondisi ini kesulitan dalam penyusunan RPJMD adalah menentukan indikator pada masing-masing program, yang sesuai dengan “semangat pembuat nomenklatur program.” Kesulitan lain yang dihadapi adalah menentukan anggaran pada masing-masing program. Dengan asumsi anggaran masing-masing program dialokasikan untuk mencapai target kinerja program, maka perlu kemampuan menghitung penetapan anggaran dengan memperhitungkan target kinerja yang ada. Target-target kinerja program bersifat hasil (outcome) yang upaya mendekatkan korelasi antara pelaksanaan kegiatan dengan hasil yang dicapai seringkali tidak dapat langsung diukur. Akibatnya, seringkali anggaran program ditetapkan dengan tidak mampu menentukan korelasinya dengan target kinerja yang ada.

Beban yang lain, target kinerja yang telah ditetapkan dalam SPM. Amanat SPM meskipun dengan nomenklatur “minimal” seringkali bersifat “maksimal” untuk kondisi di daerah. Sebagai ilustrasi misalnya SPM mengamantkan indikator persentase Ruang Kelas SD dalam kondisi baik di masing-masing kabupaten/kota minimal 90%. Pada saat penyusunan RPJMD, diketahui persentase Ruang Kelas SD dalam kondisi baik baru 50%. Karena mendapat amanat SPM, RPJMD cenderung menetapkan target kinerja sama dengan SPM, sebesar 90%. Padahal untuk mencapai kenaikan sebesar 40% persentase Ruang Kelas SD dalam kondisi baik dibutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Bila memperhitungkan kapasitas fiskal daerah, target kinerja yang realistis ditetapkan sebesar 60% atau 70%.

Beban target kinerja SPM ini akan mempengaruhi kondite capaian kinerja daerah. Ketika dilakukan evaluasi kinerja, capaian kinerja yang diperoleh masih di bawah target yang telah ditetapkan. Kondisi ini di samping disebabkan oleh kinerja pemerintah daerah yang (mungkin) memang belum optimal, juga disumbang oleh penetapan target kinerja yang terlampau ambisius untuk ukuran daerah.

Penetapan SPM disusun dengan semangat menjaga keutuhan dan kebersamaan NKRI. Artinya, meskipun masing-masing daerah dapat melakukan pembangunan secara otonom, namun pemerintah (pusat) menetapkan target yang minimal agar disparitas antar daerah tidak terlalu timpang. Advokasi pemerintah (pusat) melalui skema SPM, atau skema urusan wajib pembangunan sesungguhnya ideal, dalam kerangka keutuhan dan kebersamaan NKRI. Namun pada praktiknya, daerah kemudian lebih banyak berfokus pada pencapaian “amanat-amanat” nasional dan NKRI ini ketimbang berkonsentrasi pada visi dan misi khas daerahnya.

 

Perencanaan Sederhana

“Keluhan” dalam penyelenggaraan pembangunan yang dirasakan banyak daerah adalah terlampau banyak dan kompleks dokumen perencanaan yang disusun, dilaksanakan dan dievaluasi. Hampir setiap kementerian, bahkan direktorat jenderal yang terkait dengan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan menerbitkan peraturan terkait perencanaan berikut formulir pelaporannya. Secara filosofis dan normatif, formulir-formulir yang ada memang relevan untuk dilaksanakan. Namun memperhitungkan efisiensi, rasanya dokumen-dokumen yang ada terlampau banyak sehingga masih dimungkinkan untuk diintegrasikan. Dengan demikian penyelenggaraan perencanaan pemerintahan daerah tidak habis tersita memenuhi kebutuhan rupa-rupa formulir yang secara substansi sesungguhnya banyak kemiripan dengan formulir yang lain.

 

Jl. Agatish, Tj. Selor Hilir, Tj. Selor, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara 77216

  • dummy bappeda@kaltaraprov.go.id

Visitor

We have 157 guests and no members online